Tentang Jogja dan Problematika
Bagaimana dan siapa yang perlu diperjuangkan, masih menjadi sumbatan dalam kepala. Kalau boleh jujur, aku ingin memperjuangkan semuanya tanpa ada buih-buih perjuangan yang tersisa dan tersia-sia.
Padatnya perempatan bangjo menjadi jeda penghela napasku di saat semuanya telah bekerja semaksimal upaya. Rehat sejenak dari pikiran bagaimana peradabanku esok hari. Masih bisa kujalani atau napas tersengal hingga terhenti?
Aku butuh penguat. Aku butuh penguat. Aku sedang tidak baik-baik saja. Aku butuh sandaran. Aku butuh penenang dalam bentuk afeksi, bukan kapsul putih yang katanya menjadi asupan nutrisi energi.
Tentang dia, orang tua, pekerjaan, dan pendidikan menjadi prahara dalam pikiranku dan berkecamuk menjadi satu. Keyakinan perasaan yang masih sulit dibuktikan dalam bentuk komitmen, perbedaan pandangan perihal masa depan, atau kapitalisme yang merambah ke dunia pendidikan yang mengkhawatirkanku tersingkir. Semuanya membuatku muak.
Rasa-rasanya, omongan kawan-kawan yang jika ada konspirasi nyata bisa terwujud ingin menjadi apa selain manusia, asyik juga! Kamu mau jadi apa?
Terkadang, aku juga membayangkan ketika menjadi benda mati atau benda hidup selain manusia, bagaimana rasanya? Apa mereka memiliki kehidupan yang jauh lebih bahagia? Atau sebaliknya? Bagaimana dengan batu? Setiap harinya diam, bentuknya keras, padat, setiap hari diinjak dan dijadikan subjek/objek lemparan kepada benda lain tak mudah mengeluarkan emosionalnya. Ah, konspirasiku terlalu jauh.
Masih dalam hitungan hari aku berada di kota kesukaan orang-orang ini, tapi sudah terlalu jauh pikiranku untuk suatu tafsiran kehidupan. Oh, ya, barangkali ada yang mau memberikan referensi tempat ternyaman untuk relaksasi pikiran selain surga? Sekitar Sleman dan Jogja, ya!
Sejujurnya, di kota ini aku belum punya apa-apa. Pekerjaan juga dalam tahap pencarian, finansial juga masih bergantung orang tua, saudara apalagi. Terlalu berani, bukan?
Ya, dong. Aku terlalu berani mengambil tantangan. Tak terkira aku bisa melewati rintangan yang ada atau justru menyerah begitu saja. Entahlah, hidupku serasa stuck di satu tempat.
Akhir tahun sebentar lagi, pencapaian apa yang sudah kamu lakukan?
Banyak orang-orang yang sudah mulai membuat sebuah resolusi untuk tahun baru mendatang, tak lupa untuk mengunggahnya ke dalam lini masa. Terlalu risiko untukku melakukan hal seperti itu. Bagiku, hal semacam itu bukan hanya sebagai penambah viewers semata, melainkan melakukan janji yang perlu ditepati. Lha, wong, tahun ini saja masih dalam bentuk wishlist, terus kapan do action-nya?
Atau bahkan, ketika orang lain sudah melakukan perubahan untuk pencapaian yang mereka inginkan tercapai, aku salut dengan orang-orang di belakang mereka. Dorongan dari orang-orang tersayang mampu membuat mereka semakin maju dan berkualitas. Aku salut juga akan segala motivasi dan dedikasi terbesar mereka. Jelas untuk apa dan siapa. Tidak seperti diriku. Semuanya ingin diraup tanpa adanya kejelasan untuk apa, sih, sebenarnya aku melakukan seperti ini? Alhasil, beberapa pekerjaan mudah terbengkalai.
“Nikmati saja hidup ini, jangan terlalu diambil pusing”
WKWK, kalimat tersebut tidak pantas dilontarkan kepada manusia-manusia sepertiku. Ketika hati, pikiran, dan tindakan ngga ada sinkronisasi, buat apa terus dilakukan?
Mengentaskan segala aura buruk dalam diri ingin segera kutuntaskan. Entah bagaimana caranya, semoga Tuhan selalu memberkahi jalan yang aku pilih. Sejatinya, kita pendosa yang berbeda arah dan jalan, tapi Tuhan masih memberikan kesempatan untuk membenahi kehidupan.
Malam minggu tak begitu syahdu, mari semangat selalu kawan-kawanku!