Tentang Diri; Aku, Kalian, dan Kehidupan

Pamungkas Adiputra
2 min readNov 22, 2019

--

Entah kelak kehidupanku seperti apa, terkadang masih ingin bungkam suara. Sebenarnya, sudah ada gambaran, hanya saja takut tak tersampaikan.

Masih dengan posisi yang sama, merebahkan badan dan merenung atas semuanya yang telah menjadi takdir bagiku. Tidak, jangan sampai kalian mengira bahwa aku benar-benar mengelak dari semua ketetepan Tuhan. Itu hanya persepsi kalian saja. Bukannya sebuah penyangkalan, tetapi memang aku saat ini butuh adanya ketenangan dan kedamaian hidup.

Siapa yang tidak menginginkan kedua hal tersebut? Cakupannya luas. Bisa pemenuhan materi, jasmani dan rohani, serta didukung penuh segala angan oleh orang-orang tersayang. Sayangnya, aku tergolong orang-orang yang termarjinalkan. Entah dalam kapasitas mayoritas atau minoritas, intinya aku tidak pernah terbayang akan berada dalam posisi ini.

Tolong, jangan melabeli diriku dengan negative judgement. Kita punya preferensi ideal dalam kehidupan masing-masing. Ada beberapa pengharapan yang tidak aku inginkan terjadi dalam hidupku, begitu pula dengan kalian. Ada beberapa pengharapan yang tidak kalian butuhkan, sedangkan aku sangat membutuhkannya. Kita berbeda.

To be honest, kesehatanku dalam kurun waktu dua tahun ini menurun, bukan kesehatan fisik, melainkan kesehatan mental. Ada beberapa kondisi yang membuat keadaanku semakin terpatahkan, ada beberapa pula kondisi yang membuat aku dibangkitkan. Kurasa kedua hal tersebut belum cukup adil. Aku masih merasakan banyak penerimaan kekecewaan. Bahkan, aku masih belum menemukan sosok yang dapat menjadikan diriku sebagai penguat diri. Rapuh, sangat rapuh.

Esok

Semuanya menjadi bimbang. Asal kalian tahu, setiap malam aku memikirkan bagaimana caranya aku bisa bertahan esok hari, bagaimana aku harus menyiapkan amunisi untuk berperang dengan batin dan bagaimana pula menyikapinya dengan “bodo amat”.

Entah kelak kehidupanku seperti apa, semua sudah kupasrahkan dengan Sang Pencipta. Terpenting, aku sudah melakukan usaha dan doa terbaik yang kupanjatkan sepanjang masa.

Enteng untuk diucapkan, setengah mati dilakukan. Tidak salah, hanya saja aku tetap tidak bisa tenang memikirkan hal-hal yang tidak kuinginkan terjadi. Hidupku saat ini sudah cukup merana, jangan sampai merambat pada masa tua.

Melihat tawa orang lain lewat Instastories, twit bahagia dari sahabat di Twitter, atau pamer kemesraan dengan keluarga yang dibagikan di WhatsApp-stories. Semuanya kurasa bahagia di jalannya masing-masing. Bahkan, aku meyakini juga senyum yang mereka unggah tersimpan beberapa kesedihan. Aku selalu berpikiran seperti itu agar setidaknya meredam sedikit emosi jiwa kalau aku tidak sendirian. Nyatanya, setiap hari aku tetap bergumul dengan ketidakpastian dan keresahan.

Ditambah pula urusan pendidikan yang aku takutkan berimbas di dunia kerja. Nilai-nilaiku yang tak cukup bersaing dengan kalian yang berkuliah di posisi yang jauh lebih baik dariku, uang beberapa batang untuk syarat masuk jalur lain agar mudah berjabat tangan soal pekerjaan, dan masih banyak lagi.

Risau tetaplah risau. Payah!

Terima kasih untuk semuanya yang sudah berjuang sampai detik ini. Terus temani aku dalam perjuangan yang entah sampai kapan, demi membahagiakan orang-orang yang patut untuk kita bahagiakan.

We’re the best survivor!

--

--

Pamungkas Adiputra
Pamungkas Adiputra

Written by Pamungkas Adiputra

Personal perspective. Currently at the stage of being able to learn to interpret the true meaning of life.

No responses yet