Tatapan Pertama

Pamungkas Adiputra
2 min readFeb 3, 2020

--

Ini yang aku suka dari takdir. Sekejap, tak bisa ditebak, namun bisa dirasakan oleh semua insan. Seperti aku melihat tatapanmu pertama kali bertemu, Kota Yogyakarta semakin manis akan kehadiranmu, hari ini.

Unik, tersirat, perlu ada layer kedua untuk memahamimu. Itu, loh, yang kamu inginkan dariku! Iya, first impression saat aku bertemu denganmu tadi. Sesaat sebelum kita meninggalkan Yamie Panda, kamu berucap ingin meminta hal tersebut dariku. Ah, sayangnya aku masih belum pensiun menjadikan diri seorang penakut dan terlalu gengsi untuk mengungkapkan suatu hal. Terlebih soalmu.

Masih sangat tercium dan membekas di setiap selipan likuk bajuku aroma parfum dari jaketmu yang kau suruh membawaku. Jaket merah, hangat, kiraku itu seukuran dengan jaket-jaket yang kupunyai. Sesekali aku mencium dan menempelkannya di pipi atau sekitar wajahku. Hsst! Jangan bilang siapa-siapa, ya! Hal itu aku lakukan sewaktu kamu pergi sejenak ke dalam stasiun untuk membeli bakpia.

Aku tak tahu, seperti itukah mimik wajah dan setiap ucap lakumu kepadaku. Memang seperti itu atau sudah jauh lebih membaik keadaan yang dahulu pernah kau ceritakan. Tentang segala kerumitan jalinan asmaramu dengan dirinya dan kompleksitas permasalahan kehidupan.

Masih teringat jelas, ketika dirimu menghubungiku lewat aplikasi berlogo telepon berwarna hijau itu, baik lewat pesan teks atau telepon. Aku senang menerima notifikasi darimu -menerima segala keluh kesahmu hingga kamu terisak pelan. Di situ aku merasa orang yang paling berguna dan bahagia. Itu artinya, kamu mampu mempercayaiku untuk dijadikan tempat berpulang, meski aku bukan menjadi milikmu. Setidaknya, aku bisa menjadi pendengar dan penenang di saat kamu merasakan kegelisahan.

Sungguh, masih tercetak jelas caramu makan. Dihadapanku, kamu melintangkan poni ke samping dan meletakkan tisu wajah di dahimu, kurasa itu aneh, namun aku masih paham akan maksudmu, ya jelas agar keringat tidak berjatuhan ke atas makanan yang sedang kamu santap.

Aku sedikit tertegun ketika kurasa kamu memberikan sinyal satire kepadaku. Perihal text person. Aku tak pernah menuntutmu untuk selalu 24/7 memegang ponsel dan memperhatikanku, tapi setidaknya kamu mengabariku ketika beranjak dari aktivitas yang lebih penting. Oh, ya, aku siapamu? Menyuruhmu begitu saja untuk mengabariku, padahal kita tak saling terikat janji. Pula, kamu tak perlu membahasnya hingga tiga kali, terlebih ada temanku.

Terlepas dari itu, aku sangat senang ketika dirimu membagikan live location via aplikasi. Ada dua pertanda; kamu memberikanku sinyal agar bisa memantaumu hingga kedatangan di Stasiun Bandung atau tak sengaja menekan tombol bagikan lokasi terkini. Ah, rasanya hati dan pikiranku menerka-nerka akan banyak hal yang berkaitan tentang dirimu.

Ditambah lagi, kamu memberikanku sepotong teks yang berisi “Kamu kenapa kemarin nice appearance, sih,” OMG! HATIKU MELONCAT-LONCAT RASANYA! 7$%&*!!!

Bagaimana pun nasib ke depannya, aku belajar menikmati perjalanan dari sebuah proses. Apa pun, termasuk tentang dirimu. Ucapmu, kita akan berjumpa lagi. Pasti. Kutunggu kesempatan itu. Entah aku yang mendatangimu ke Bandung atau dirimu yang mendatangiku ke Yogyakarta. Terpenting, tabung uang dulu. Perihal Bandung atau Yogyakarta, biarlah menjadi penentu semesta, sebagai tabungan rindu kita.

Februari, hangatnya awal bulan, sore hari bersamamamu.

--

--

Pamungkas Adiputra
Pamungkas Adiputra

Written by Pamungkas Adiputra

Personal perspective. Currently at the stage of being able to learn to interpret the true meaning of life.

No responses yet