Saya Laki-laki, Saya Juga Butuh Kesetaraan
Gaungan kesetaraan tak hanya milik salah satu pihak. Dalam kehidupan, keduanya harus bersinergi dengan baik, begitu juga dengan laki-laki. Kami juga punya hak atas ruang kebebasan, tak bisa sepenuhnya dikekang oleh durjana kepentingan.
Dalam dunia gender, perempuan bukan hanya satu-satunya pihak yang perlu diadili atas segala isu yang terjadi di muka bumi ini. Masih ada pihak satu lagi, yakni laki-laki. Kami juga perlu bukti, kami tak ingin jika harus dikambing hitamkan oleh setiap keadaan.
Melihat dari beberapa sampel yang sudah sering terjadi di keseharian kita, ada beberapa ruang yang menutup laki-laki untuk masuk ke dalam bagian itu. Parahnya lagi, laki-laki akan dicap sebagai manusia lemah dan kurang masuk ke dalam tupoksi tersebut.
Anggapan yang terjadi di kehidupan kita semua bahwa laki-laki harus diberikan “porsi lebih” dibandingkan perempuan. Hal-hal semacam itu yang membuat stigma buruk berkepanjangan terjadi dalam konstruksi sosial, juga yang mengakibatkan tekanan sosial terhadap laki-laki selalu bermunculan.
Dua bulan lalu, tepatnya setiap 8 Maret, kita ketahui sendiri ada peringatan International Women’s Day yang digelar serentak di seluruh dunia. Perayaan tersebut digerakkan dengan adanya longmarch yang berkumpul di titik-titik tertentu. Isi dari peringatan tersebut tidak lain juga representasi aspirasi perempuan yang dirasa menjadi unek-uneknya selama ini. Baik dari segi politik, sosial, budaya, dan sebagainya mereka tumpah ruahkan untuk meminta sebuah kesetaraan gender.
Bagaimana dengan International Men’s Day? Tentunya tidak seramai dan sesolid International Women’s Day. Hal-hal yang bisa dijadikan penyebab karena sudah terlalu banyak dan mandarah daging sejak zaman penjajahan dulu kalau laki-laki dirasa tak perlu banyak regulasi yang merepotkan diri sendiri. Laki-laki dituntut untuk selalu mawas diri, sigap, tegas, dan tak perlu mempermasalahkan suatu hal. Pada akhinya, suara-suara mereka yang harusnya lantang diperdengarkan menjadi dibungkam oleh sosial.
Selalu miris jika melihat dan mendengar adanya realitas ketimpangan kesetaraan dalam dunia gender seperti ini. Adil untuk semua, bukan hanya sepihak saja. Kali ini, mungkin saya satu dari beberapa laki-laki yang ungkap suara perihal hal ini. Ya, memang sudah sepatutnya kita semua menuntut hak-hak yang perlu kita terima. Tak hanya dibebankan semena-mena begitu saja kepada laki-laki.
Beberapa kasus yang mungkin kita sendiri juga sering tak menyadarinya dalam kehidupan pasti ada. Hanya karena kata-kata “Yaudah, lah, ya!”, kita lantas mengabaikannya.
Misalnya dalam bidang pekerjaan, pekerjaan yang sifatnya administratif selalu mayoritasnya dikerjakan oleh perempuan. Bisa dilihat sendiri dalam setiap pekrerutan yang tercantum dalam setiap lowongan pekerjaan. Padahal, kita juga ketahui sendiri kalau hal-hal yang akan dikerjakan nanti juga tidak memandang jenis gender, namun aturan kebijakannya saja yang sudah seolah-olah mendoktrin kalau administrasi akan dikerjakan oleh pihak perempuan dan laki-laki akan diberikan posisi yang berhubungan dengan teknis atau operasi sistem kerja.
Beranjak ke dunia pernikahan, laki-laki dituntut untuk selalu bekerja keras, tak boleh sering mengeluh, dan menangis. Seolah-olah segala beban di punggung terasa dipikul sendiri. Padahal, lelaki -yang menurut saya masih sedikit mempunyai pemikiran seperti ini, juga ingin istri bertransformasi sebagai mitra, yang berjalan mendampingi di sisinya, bukan di depan atau belakangnya.
Sebelum jauh dari itu, seorang laki-laki yang ingin menikahi seorang perempuan idamannya juga selalu diinterogasi oleh calon mertuanya sendiri terkait duniawinya. Akan ada taksiran beberapa poin perihal pekerjaannya apa, harus seperti apa ke depannya, gaji bulanannya berapa, dan mengapa tidak segera dari dulu menikahi anaknya, serta lebih parahnya lagi nanti akan dibandingkan dengan materi dari si perempuannya. Menurut mertuanya, seolah-olah calon menantunya harus mempunyai derajat atau level yang lebih memumpuni dari pihak perempuan atau setidaknya setara dengannya.
Begitu juga dengan keseharian kita semua, seringkali saya mendapati kejadian-kejadian yang harus membuat tertegun. Seperti halnya laki-laki yang tak boleh berdiam diri di rumah sjaa, harus banyak aktivitas yang dilakoninya, olahraga yang rutin, tak boleh cengeng, harus bersikap gagah dan tegap, dan hal-hal lain yang menuntut laki-laki tak boleh menjadi seseorang yang loyo atau lemah.
Lalu, memangnya perempuan tak membutuhkan itu semua? Perempuan tak membutuhkan kesehatan jasmani? Perempuan tak boleh beraktivitas di luar rumah? Hanya perempuan yang boleh menumpahkan emosi tangisannya? Hanya perempuan kah yang boleh menyikapi segala kondisi dengan tenang tanpa ada keraguan?
Semua asumsi yang saya berikan bukan ajang untuk sebuah penyangkalan, melainkan pembuktian bahwa laki-laki juga bisa bersuara kepada publik. Laki-laki juga manusia, tak bisa seenaknya dijadikan pacuan kuda.
Entah sampai kapan harus melihat polemik yang selalu berkecamuk beterbaran di media sosial maupun kehidupan sosial. Baik laki-laki dan perempuan seharusnya saling mendukung apa yang menjadi prioritasnya. Saling menjunjung tinggi kesetaraan dalam kehidupan sehari-hari tanpa adanya sebuah ketimpangan. Selagi laki-laki atau perempuan itu mampu melakukan suatu pekerjaan dengan kapabilitas yang memadai, tak perlu dipermasalahkan pembagian peran yang akan dijalaninya.
Tak ingin adanya generalisasi, namun tentunya kita berharap ada kesadaran dalam diri masing-masing untuk saling berbenah dan bersinergi satu sama lain. Laki-laki memberikan sumbangsih yang sekiranya bisa digunakan untuk kontribusinya, begitu pun juga dengan perempuan. Tak saling apatis atau pasif dalam menyikapi suatu hal.