Menjadi Seorang Ibu Tak Semudah Seruan Nikah Muda

Pamungkas Adiputra
4 min readJun 13, 2020

--

Menggencarkan seruan untuk menikah muda dan menjadikannya sebuah pencapaian bukanlah esensi dari menikah. Perbanyaklah berkaca pada realitas yang dapat menjadi petuah untuk kita semua.

broken wife

Dalam kurun waktu belakangan ini, saya sering mendengar dan melihat di kanal berita tentang sorotan gerakan menikah muda. Entah apa tujuan awal dibentuknya gerakan tersebut, intinya seketika saya mengernyitkan dahi dan lantas berpikiran sepintas, apakah mereka cukup yakin dengan seruan keputusan yang diambilnya? Bagaimana dengan konsekuensinya? Sudah sangat matang akan menjalaninya?

Belum berhenti sampai gerakan menikah muda saja, saya juga cukup heran dengan kehadiran gerakan “Indonesia Tanpa Pacaran”. Entah ada apa dengan kedua gerakan tersebut dan intervensi apa yang sedang dilanggengkan. Seolah-olah para penggiat gerakan tersebut memberikan doktrin kalau menikah harus ada batasan usia–yang dikhawatirkan akan menjadi perawan tua, berdalih agar menghindari seks di luar nikah, dan menghakimi seluruh umat yang berpacaran akan mendapatkan dosa.

Lebih jauh dari itu, mereka sangat sembrono dalam membawa berbagai dalil dan salah menafsirkan ilmu agama yang dianutnya kemudian disebarluaskan salah satunya melalui media sosial. Semua ayat dikeluarkan dan akhirnya menjadi multitafsir bagi sebagian orang yang mempercayainya. Seolah-olah pula mereka sangat menyudutkan berbagai kalangan dan salah satu seruannya agar didengar serta semuanya tunduk dengan aturan yang telah dibuatnya.

Melihat banyaknya fenomena seperti hal di atas, semakin dapat membuka pandangan yang telah terjadi pada Ibu saya sendiri. Sejak dua tahun lamanya, keluarga kami dipenuhi dengan situasi yang tak diinginkan. Perpecahan di dalamnya pun tak bisa terelakkan. Kedua orang yang menimang saya sejak kecil lebih mengedepankan egonya masing-masing.

Lantas, sudah hitungan tahun seperti ini, baru dewasa kini saya bisa menjabarkan hal-hal apa saja yang sekiranya menjadi penyebab kekacauan mengapa bisa terjadi.

Nikah muda menjadi alasan utamanya.

Setelah saya berpikir lebih mendalam, ternyata ada juga kaitan yang terbangun dari menikah muda. Puluhan tahun, tepatnya tahun 1970-an, orang tua saya menikah. Berdasarkan apa yang pernah Ibu ceritakan kepada saya, dahulu beliau menikah belum genap usia 20 tahunan. Yang mana usianya berbeda lima tahun lebih tua dari Ayah saya.

Pada zaman dahulu, pernikahan pada umumnya dilangsungkan dengan perjodohan antarkedua keluarga yang berasal dari rekan kerja orang tuanya. Begitu juga dengan orang tua saya. Tanpa adanya unsur saling suka atau masa PDKT di awal dan memiliki tujuan bersama yang akan dibangun setelah menikah, dua orang asing pun akhirnya harus menikah dengan menuruti segala kemauan dari kedua orang tuanya.

Munculah berbagai permasalahan dari hal pernikahan tersebut. Baik dari segi ekonomi, keadaan psikologis, dan pemikiran jangka panjang pun terabaikan serta jarang untuk dibahas bersama. Yang terpenting adanya ikatan ‘sah’ dari KUA atau legalitas dari agama dan negara sudah lebih dari cukup. Para orang tua zaman dahulu lebih mengutamakan keakraban persaudaraan dan kebersamaan ketimbang memikirkan hubungan calon pasangan akan bisa bertahan hingga menua bersama atau tidak. Dalam hal ini, akibatnya para pasangan menikah akan kewalahan untuk menanggung beban perasaan mendatang.

Alhasil, salah satu dari pasangan yang menikah akan menjadi korban. Ibu saya sebagai contohnya. Beliau kini harus berjuang merangkap gelar kepala keluarga sekaligus Ibu yang baik untuk kedua anaknya. Beliau bekerja keras untuk menghidupi keluarga kecilnya. Saya tak tega jika harus melihat Ibu bekerja sendirian begitu saja, saya pun turut membantu perekonomian meskipun masih sembari berkuliah. Setidaknya luka fisik dan batin tak ditanggung sendirian oleh Ibu saya.

Begitu besar pengorbanan Ibu untuk terus bisa bertahan hingga detik ini. berani memperjuangkan hak dan kewajibannya sebagai wanita yang tangguh. Menghidupkan ketegaran dan kesetiaan di setiap saat. Bahkan tak rela jika ibu saya disebut sebagai wanita yang lemah. Bukti nyata Ibu seorang yang kuat yaitu tetap melakoni kewajiban berbakti kepada orang tuanya sejak dahulu kala hingga berhasil keluar dari setiap masa-masa tersulitnya.

Lantas, jika dikaitkan dengan era kini yang bermunculan gerakan menikah muda ataupun Indonesia Tanpa Pacaran, apa para penggiat gerakan tersebut juga justru berpandangan ke belakang? Urusan menikah atau menjalin hubungan biarkan menjadi keputusan individu masing-masing. Kebahagiaan yang sesungguhnya berasal dari hati nurani dan asalkan yang menjalaninya senang. Tak perlu ada unsur paksaan yang dibentuk hanya untuk memuaskan durjana kepentingan.

Akankah lebih baik jika kita memberikan edukasi terkait pernikahan, bagaimana cara mengejar mimpi-mimpi yang belum terealisasi, menumbuhkan semangat untuk menumbuhkan potensi diri, dan sebagainya daripada sibuk mengumpulkan massa agar sependapat dengan gerakan-gerakan semacam di atas?

Sama sekali saya tak mempermasalahkan jika ada seseorang yang ingin menikah muda. Alangkah baiknya jika dapat mempertimbangkan keadaan ekonomi, mental, dan kesiapan hubungan dalam jangka panjang. Karena menikah bukan perkara hidup bersama lalu melahirkan anak, namun juga diharapkan keduanya bisa menjadi mitra dan membangun pondasi kuat agar bisa memberikan tuaian yang bermanfaat.

--

--

Pamungkas Adiputra
Pamungkas Adiputra

Written by Pamungkas Adiputra

Personal perspective. Currently at the stage of being able to learn to interpret the true meaning of life.

No responses yet