Kilas: Dari, Oleh, dan Untuk Siapa?

Pamungkas Adiputra
2 min readDec 31, 2019

--

Melangkah pergi dan menjauh dari kampung halaman merupakan suatu pilihan. Sekali pun itu pilihan, seseorang bahkan belum menyadari kalau tujuan mereka merantau itu untuk apa dan siapa?

Saya tahu, kebahagiaan milik bersama. Kita semua berhak untuk mendapatkan hak kedamaian dan kesejahteraan dalam hidup, tapi filosofi dari “kebahagiaan” itu apa, toh?

Salah satu cara untuk menempuh semua hal di atas yaitu merantau. Mereka berharap dengan merantau dapat memberikan suasana baru yang belum pernah didapatkan sebelumnya. Begitu juga dengan faktor yang lain, seperti untuk mencari pekerjaan yang jauh lebih layak — mengingat penyedia lapangan kerja di pedesaan lebih sedikit dan kurang beragam, dan mengenyam pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.

Namun, kita bahkan terkadang kurang begitu yakin dengan keputusan-keputusan yang diambil. Mempertaruhkan segalanya untuk siapa? Berjuang ke sana-ke mari untuk apa? Apa yang sebenarnya kita pilih dan tempatkan pada keadaan yang seharusnya? Hal-hal semacam itu yang selalu diposisikan di belakang tanpa memikirkan beberapa akibat atau risiko terhadap setiap pilihan yang diambil.

Tidak munafik. Ambil saja kasus dalam kehidupan saya. Memutuskan untuk merantau hingga ke beda provinsi karena beberapa penyebab yang mungkin tak secara keseluruhan bisa saya ceritakan. Intinya, ingin seperti mendapat kedamaian dalam kehidupan karena saya rasa rumah di kampung halaman tidak memiliki support system yang baik untuk kelangsungan hidup. Beberapa hal dapat menjadikan akibat yang serius bagi kesehatan mental saya. Daripada saya menyerah, lebih baik saya memutuskan untuk berpijak di tanah rantauan.

Entah seperti apa ke depannya, entah bagaimana kehidupan selanjutnya, biarkan Tuhan yang menjawab. Terpenting, saya sudah mengambil keputusan daripada tidak sama sekali.

Namun, setiba dan menginjakkan kaki di tanah rantau beberapa minggu, saya pernah terpikir, buat apa mendewasakan diri dan mengembangkan potensi di daerah lain jika kota kelahiran sendiri memiliki akses yang memumpuni? Ya, saya sedang bergumam jika andaikata kota saya memiliki koneksi yang luas dalam beberapa sektor, tidak hanya menonjolkan salah satu bidang.

Angan-angan kembali terjadi, andaikata saya lahir di kota megapolitan, tentunya saya tidak ingin meninggalkan kota kelahiran dan orang-orang tersayang.

Restu

Saya paham, restu orang tua itu seperti apa kebaikannya untuk seorang anak. Saya paham sekali, begitu dalam rasa cinta kasih seorang Ibu yang diberikan kepada anaknya. Apa pun akan diberikan sekali pun itu membutuhkan perjuangan yang merelakan demi kebahagiaan sang anak.

Beliau orang baik. Ya, benar, Ibu saya. Beliau selalu mendukung segala keputusan yang saya ambil, meskipun saya tahu dalam hati kecilnya terbesit sedikit ragu dengan kemampuan segalanya untuk ke depannya.

Tuturan demi tuturan ketika saya berada di kota rantau pun terus mengalir. Nasihat demi nasihat seolah-olah menggiringku ke arah jalan kebenarannya. Sedikit hal yang saya kurang suka dari beliau, menancapkan pemikiran-pemikiran klisenya dengan kehidupan modernitas. Tuntutan seperti harus menjadi A, B, C, dan seterusnya pun dilontarkan kepada saya. Beliau kurang bisa mengerti secara mendalam bahwa anaknya bisa menjalaninya atau tidak.

Saya perlahan mulai menyadari, kebahagiaan itu sifatnya relatif dan dinamis. Tidak bisa dipaksakan oleh orang lain atau dari luar. Kebahagiaan turun dari naluri hati masing-masing. Keputusan apa pun yang kita pilih, tentunya akan mempunyai dampak baik dan buruk untuk ke depannya.

--

--

Pamungkas Adiputra
Pamungkas Adiputra

Written by Pamungkas Adiputra

Personal perspective. Currently at the stage of being able to learn to interpret the true meaning of life.

No responses yet