Jakarta, Masih Tak Ada Anganku Di Sana
Nyata adanya kompleksitas permasalahan di area megapolitan, membuat saya semakin canggung untuk beranjak ke pangkuan ibu kota.
Mungkin, setelah saya menulis tulisan ini, banyak yang berkomentar “Ah, kamu pengecut!”, “Survei darimana tulisanmu itu?”, “Tuntutan hidup membuatmu harus keluar dari zona nyaman, Bro!” atau justru bagaimana? Mari kita mulai..
Bisa dibilang, saya dikategorikan masuk ke dalam lingkup minoritas jika harus berbicara soal wilayah yang satu ini. Beberapa kali percakapan dengan orang-orang yang berbeda secara tidak sengaja sudah saya lewati.
Percakapan saya yang pertama dengan gerombolan teman-teman di warkop sewaktu akan kelulusan SMA, salah satu dari seorang teman menyahut, “Mau lanjut di mana?” sambil matanya tertuju kepada saya. Lalu, saya menjawabnya dengan jawaban “Kota sebelah, kalo ga gitu ya di Jogja. Gimana kalo kamu?”, Ia pun merespon “Jakarta, ga perlu tanggung-tanggung jadi orang. Akses di sana mudah. Apa pun yang kau cari ada. Banyak ‘relasi’ yang bisa kau dapat, Bro!”
Sebentar..sebentar. Awal lalu dia melontarkan pertanyaan yang baik-baik saja, begitu pun dengan jawaban saya. Lalu, mengapa dia menjawab sanggahan saya dengan nada keras? Saya masih menaruh ingatan di kepala saya soal jawaban yang sedikit membuat tertegun.
Bro, tak perlu semuanya kau paksakan dalam satu pikiranmu. Tak selamanya orang ingin menjadi dan memilih seperti yang kau inginkan. Juga, tak perlu bersusah payah menjadikan jalan kedamaian seseorang jadi satu, biarkan semuanya sejahtera dengan keputusannya sendiri.
Satu percakapan lagi dengan rekan seperkuliahan sebelum yang sekarang, kala itu. Kita memang sering melakukan random talk di sela-sela jam kuliah. Kali ini, saya yang bertanya ke dia. “Ada rencana ke mana kelak setelah lulus kuliah?”, tanpa ragu, ia pun menjawab “Jakarta, aku tak ingin mempersulit diri. Di sana segalanya udah enak”. Baiklah, seketika saya menghentikan bahasan soal itu. Tanpa disadari, kernyitan dahi saya diketahui oleh teman saya.
Saya begitu hormat dan menghargai berbagai pendapat mayoritas soal provinsi dengan luas 661, 5 km persegi tersebut. Saya sangat paham, pasti para mayoritas sudah menempatkan pilihannya dengan disandingkan berbagai risiko yang akan dihadapinya. Tak mungkin mereka menelan mentah-mentah suatu hal. Toh, semua pilihan yang kita ambil juga sejatinya mengandung plus dan minus, bukan?
Tak bisa dipungkiri, mobilitas sosial itu akan terjadi kepada semua insan. Hidup itu dinamis, kita tak bisa mencegahnya untuk tetap berdiam diri dan melihat sebuah kepasrahan duniawi yang akan menghantui.
Jakarta, megapolitan area yang menawarkan sejuta kehidupan yang layak untuk masa depan atau masa tua. Tak sedikit orang pula yang tidak tergiur akan “iklan sosial” tersebut. Semuanya ingin tumpah ruah dalam balutan sistemasi Jakarta.
Bagaimana tidak, UMP DKI Jakarta menurut Kementerian Ketenagakerjaan tahun 2020 mencapai sebesar Rp 4.267.349. Belum lagi banyak gedung-gedung perusahaan multinasional atau swasta yang mampu membayar lebih karyawannya yang tengah mengadu nasib di ibu kota. Itu tadi jika kita berbicara soal materi, memang tak perlu diragukan lagi.
Berbicara soal mentalitas, tak semuanya bisa disamaratakan, kita tahu itu. Pilihan mereka menjatuhkan diri ke Jakarta banyak yang berasumsi untuk memperbaiki keadaan ekonomi dan infrastruktur kesejahteraan hidup. Namun, banyak yang belum berpikir soal kesiapan mental yang akan diadu dengan pesaing lainnya. Bagaimana mereka akan survive, bagaimana cara mereka bisa mengontrol tarikan dan hembusan pergolakan rasa batin yang melanda, dan sebagainya. Alhasil, beberapa dari mereka tidak bisa bersaing dan kalah sebelum waktunya. Mengakhiri hidup.
Kalau hiburan sosial, banyak yang sekiranya beranggapan bahwa Jakarta pusatnya untuk segala mode. Akan memilih dari segala jenis pasti tersedia. Terlebih, jika di kampung halamannya tak banyak beraneka pilihan untuk melepas penat, seolah-olah berpikiran Jakarta akan memberikan “rasa” yang berbeda dari kampung halamannya.
Penolakan lain mengapa Jakarta belum masuk ke dalam list kota tumpuan pada masa tua, yaitu bentuk permasalahan sosial yang seringkali terjadi dan sangat akrab dengan masyarakat, banjir, demo massa, kemacetan lalu lintas akut, polusi udara yang mulai kurang bisa bersahabat dengan paru-paru, dan hal-hal lain yang bisa saja bertambah dengan bertambahnya tahun, seperti digadang-gadang oleh riset LIPI, Jakarta akan tenggelam pada tahun 2050. Sampai-sampai, Ibukota akan segera dipindah ke Pulau Kalimantan. Sungguh, kita semua tentunya tak mengharapkan jika Jakarta akan bernasib buruk.
Bagi saya, lebih baik mencari jalan aman memilih kota lain yang dalam bayangan masih bisa merangkul orang-orang seperti saya yang menginginkan atmosfer jauh sedikit lebih hangat. Saya turut menyumbangkan pemikiran, apa setiap manusia yang ingin hidup minimal dalam batas aman yang berada di Jakarta harus memiliki minimal kesanggupan beberapa juta rupiah dalam hitungan minggu/bulan?
Saya meyakini, kejahatan dan halang rintang lain yang menghadang kita semua tak mengerti kondisi. Di mana pun akan ada seperti itu tadi. Kembali lagi kepada tujuan awal kita untuk apa merantau jauh dan meninggalkan kampung halaman kalau tidak dipergunakan dengan maksimal.
Saya sangat salut atas dedikasi setiap manusia yang membutuhkan pertaruhan apa pun itu. Tak melihat kondisi pribadi seperti apa, yang terpenting bisa membahagiakan orang-orang tersayang. Ya, mungkin salah satunya dengan pergi ke Jakarta untuk mencari penghidupan yang dirasa jauh lebih menenangkan masa mendatang.
Saya meyakini pula, pemikiran itu bisa bersifat membangun. Dalam artian, bisa saja saya tidak lagi mengukuhkan pemikiran saya soal tulisan ini, karena bisa saja ada hal lain yang jadi keharusan dan kesanggupan untuk menggapai sesuatu di Jakarta kelak.