Inem: Representasi Feminis di Jogja
Andai saja ada beberapa Inem-inem yang serupa di wilayah lain, tentunya feminisme bisa digaungkan secara nyata tanpa ada perjuangan yang disia-sia.
Perkenalkan, Made Dyah Agustina, terdengar hangat sapaannya dengan “Inem”. Wanita kelahiran Bali yang sekarang menetap di Yogyakarta ini memiliki keunikan yang perlu diberikan apresiasi. Inem, pertama kali mendengar akan nama itu pasti semuanya mengira jika berprofesi menjadi seorang asisten rumah tangga atau sosok penggoda dalam serial film maupun sinetron. Bukan, kali ini kita berjumpa dengan Inem yang menebarkan ilmu kebaikan di Yogyakarta dan sekitarnya.
Setelah meminta izin dari yang bersangkutan, akhirnya saya berani untuk menuliskan kisah superheronya yang perlu kita teladani. Sosok Inem Jogja memiliki karakter yang memang ramah, murah senyum, suka menolong, dan berbagi kebahagiaan untuk sesama. Aksi baiknya sangat digandrungi oleh khalayak, oleh sebab itu ia sudah diundang menjadi pembicara di berbagai talkshow.
Inem Jogja mempunyai tagline #InemJalan-jalan dikarenakan aksi-aksi baiknya sering dilakukan di banyak tempat wisata Yogyakarta, seperti Malioboro, pasar-pasar, Kraton, dan jalanan-jalanan ramai lainnya. Tidak seorang diri, ia bersama teman-temannya yang ingin ikut serta dalam penyusurannya di setiap sudut Jogja dengan berjalan kaki.
Siapa sangka, ternyata Inem juga tidak dari awal melakoni pekerjaan seperti saat ini. Ia dahulu merupakan lulusan Magister Pertunjukan Seni di salah satu kampus Yogyakarta, bahkan sudah pernah menjadi pengajar. Namun, profesinya tersebut kini ditinggalkan dan lebih memilih menggeluti dunia seni yang lebih berpandangan terhadap realitas sosial, karena membaur dengan masyarakat di jalanan dan mengelola sanggar tari ia rasa bukan sebuah tuntutan pekerjaan, melainkan sebuah hobi yang ia sangat senang untuk melakukan setiap harinya.
Berpakaian kebaya batik, memakai rok, dan berdandan layaknya badut membuat semua masyarakat yang bertemu dengannya akan merasa terhibur, ditambah pula dengan sifat Inem yang mudah untuk mengakrabi orang lain. Aksi-aksi baiknya selain membantu para pedagang, berdonasi, dan menghibur orang-orang jalanan, ia juga turut mengajarkan tata krama kepada anak kecil untuk selalu menghormati dengan teman sebaya maupun orang yang lebih tua. Ditambah lagi dengan seruannya untuk selalu menjaga lingkungan di mana pun berada.
Meskipun begitu, ia juga sering mengalami musibah saat berada di jalanan, seperti dilempari es batu oleh pedagang dikarenakan takut meresahkan masyarakat, diusir oleh Satpol PP di dalam pasar maupun Malioboro. Namun, takkan ada gerak mundur darinya untuk terus menebarkan enegri positif untuk sesama. Mungkin saat ini belum waktunya jika semua orang mengetahui keberadaannya dan menghargai apa yang dilakoninya, pasti suatu saat akan mengerti keadaannya.
“Di saat kamu memandang unsur seni, maka pakailah kacamata seni, jangan memakai kacamata yang lain. Jadilah manusia yang dapat bermanfaat untuk semuanya”, pesan Inem untuk semua orang.
Belajar dari sosok Inem, kegigihannya mampu dijadikan pelopor untuk semua manusia terutama sesama perempuan, agar selalu bisa hidup berdampingan dengan sinergi yang baik, tanpa harus menjatuhkan satu sama lain. Semestinya kita pahami, bahwa sesamanya harus saling mendukung, bersaing secar adil dan sehat, tanpa harus melakukan penyerangan dengan menyudutkan pihak lain.
Keberanian dari seorang Inem untuk lebih memilih berprofesi menjadi “Inem Jalanan” daripada dosen bisa dijadikan bukti bahwa perempuan juga mempunyai hak serta dalam pengambilan keputusan dalam berbagai kesempatan. Tak serta merta harus tunduk akan perintah laki-laki, perempuan juga memiliki aspirasi yang perlu disuarakan dengan lantang.
Inem juga mengajarkan arti kemandirian kepada kita semua. Tidak melulu bergantung kepada yang lain jika kita masih bisa melakukannya sendiri. Seperti kisah Inem jatuh bangun dalam kehidupannya, perjuangan kuliahnya yang bahkan tidak mengeluarkan biaya, dan sampai bisa mengangkat derajat kedua orang tuanya.
Baginya, pelestarian budaya Jawa itu yang utama, jika sekalipun suatu saat ia tak terkenal, ia akan tetap terus melestarikan tarian “edan-edanan” yang ia buat dan terus menebarkan kebaikan untuk sesama di jalanan. Menurutnya, kebahagiaan dan kedamaian hidup yang ia peroleh berasal dari kebaikan-kebaikan yang ia bisa lakukan untuk orang lain. Berbagi kebaikan tak hanya soal materi, apa pun itu yang sifatnya bisa membuat orang lain senang, sebisa mungkin Inem akan membantunya.
Saya pikir, jika semua manusia mampu berusaha menempatkan segala sesuatunya dengan tepat, kelanggengan patriarki akan dengan mudah lenyap. Memang mengubah konstruksi sosial yang sudah dilabeli sejak dahulu kala tidaklah mudah. Terlebih, kita hidup pada zaman yang serba ingin segala sesuatunya berjalan dengan instan, tanpa melihat substansi yang terkandung.
Hidup penuh toleransi, membantu dalam kesusahan, keabadian budaya asli, manusia bersedia merawat dan melestarikannya, serta saling menebarkan energi postif merupakan hal-hal yang sudah sepatutnya dilaksanakan kita semua jika ingin bisa bersatu membangun keseimbangan dalam kehidupan. Sejatinya, manusia akan punah dan esensi apa yang bisa kita hasilkan selama hidup berdampingan dengan sesama? Banyak hal-hal yang perlu dipertanyakan ketika semua orang menginginkan kesetaraan, apakah dari kita sendiri sudah menjunjung tinggi arti keadilan dan kebebasan?