Balkon

Pamungkas Adiputra
4 min readJul 25, 2020

--

Tepat tulisan ini dimuat, posisi saya masih persis berada di atas balkon–lebih tepatnya di sekitarnya–karena saya sedang bertengger di kursi panjang depan kamar indekos.

Satu tahun berjalan saya berada di indekos saat ini, tak pernah sedikit pun ada hasrat untuk berpaling dari yang lain. Alasan pertama memang karena harganya dapat terjangkau di kantong saya, alasan kedua harga dengan fasilitas yang ada bisa imbang. Kamar mandi dalam dan sudah isian dipasang harga Rp650.000,00 untuk satu bulan dengan luas kamar 3.5 x 4 meter.

Masih teringat dalam rekam memori, setibanya di Yogyakarta, saya langsung menuju indekos tanpa pikir panjang lagi. Pertama kali menginjakkan kaki di indekos ini waktu itu saat hujan deras. Guyuran air hujan yang membasahi tubuh saya berceceran pula di setapak jalan yang berbentuk rataan semen menuju kamar indekos. Posisi kamar saya terletak di lantai satu, tepatnya paling ujung, berdekatan dengan tangga menuju ke lantai dua.

Singkat cerita, sudah cukup enam bulan saja saya menghuni kamar tersebut, kemudian saya berpindah ke kamar atas. Beberapa alasan mengapa saya pindah ke kamar atas, yakni saya tidak nyaman dengan suasana kamar yang lembab–karena berpengaruh juga terhadap kesehatan pernapasan saya–tak ada sirkulasi udara yang masuk, sinar matahari yang terhalang langit-langit bangunan, dan jauh dari balkon.

Balkon? Hampir saja saya lupa untuk membahasnya. Baiklah, kisah perihal balkon dimulai.

Kawan Baru

Saya akui, saya bukan tipe orang yang mudah untuk bergaul ataupun menggauli. Lebih jauh dari batas tersebut, saya lebih senang untuk memberikan perhatian yang lebih terhadap percakapan yang telah ada, memberikan tik tok yang berkesinambungan agar lawan bicara saya merasa dihargai dengan adanya saya menanggapi topik percakapan yang sedang dibahas. Pun saya merasa tipe orang yang harus dipancing dahulu ketika memulai sebuah percakapan. Tak masalah bagi saya, karena yang terpenting bagaimana cara kita memberikan keseimbangan dalam sebuah hubungan komunikasi.

Selang beberapa hari setelah saya mulai bisa beradaptasi dengan lingkungan indekos, tak segan saya menjamah area lantai atas pula. Kebetulan waktu itu saya juga telah menyelesaikan cucian baju yang harusnya segera dijemur agar tak mengendap di dalam kamar mandi. Terasa terik matahari pukul 09.00 WIB menusuk kulit. Panas sekali Yogya waktu itu. Berhubung tak ada aktivitas yang akan saya jalani pada akhir pekan, saya lanjutkan dengan sedikit pemanasan badan sekaligus berjemur di atas balkon. Sangat lengang situasi sekitar indekos. Entah mereka yang individualistis atau memang ada kesibukan, saya tak memikirkan lebih jauh.

Klek..klek. Kelengangan berakhir sampai ketika ada suara pintu terbuka dari dalam ruangan arah belakang. Saya mengabaikannya saja. Namun, tidak dengan tepukan di bahu saya. Ah, ternyata ada Mas X yang saya pun belum ketahui identitasnya siapa.

Perkenalan pun dilakukan. Hangat, saling mengakrabi, dan tentunya tinggi badannya lebih dari saya. Kami pun beranjak dari percakapan-percakapan nama, asal kampus, tempat tinggal, dan pekerjaan, sudah cukup. Tak ingin membahas soal kepercayaan dan pasangan, menurut saya masih dalam batasan untuk perkenalan awal.

Sedari situ, kami mulai lebih akrab akan memasak bersama saat akhir pekan, bercakap soal pekerjaan, diskusi hangat yang sedang ramai diperbincangkan di media sosial, dan sekadar duduk-duduk santai. Tentunya semua hal dilakoninya di balkon kesayangan kami, anak indekos.

Menjernihkan Pikiran

Tak luput dari bahasan generasi sandwitch atau quarter life crisis, saya juga turut merasakannya. Hingga detik ini saya belum bisa mencapai apa yang saya inginkan. Belum mencapai banyaknya target yang sudah saya pasang dalam angan. Saya dan kawan-kawan tentunya menyadari, bahwa semakin kita bertambahnya usia, artinya akan ada pembaharuan yang tejadi dalam kehidupan. Jangan sampai kita menyebutnya dengan sebuah tuntutan, karena kita dihadirkan di dunia pun juga pasti ada alasan yang masuk akal.

Oleh karena itu, saya selalu memiliki beberapa hal sebagai pelipur kesedihan dan kekalutan pikiran agar tak menjadi berkepanjangan. Salah satunya dengan bercengkerama dengan diri sendiri maupun kawan-kawan yang lain di balkon indekos. Ketika sendiri, saya menyempatkan untuk tidak sibuk dengan hal lain, termasuk gawai. Saya lepaskan dari genggaman tangan dan menaruhnya sejenak di dalam kamar.

Saat sudah mulai sendiri di atas balkon, saya melakukan semacam perenungan atau meditasi. Saya selalu merenungi segala perbuatan yang sudah saya lakukan. Seberapa keras saya melangkah, seberapa giat saya menggapai apa yang menjadi impian saya, apa yang kurang dari diri saya, apa yang seharusnya dibenahi. Pertanyaan-pertanyaan serupa juga saya tanyakan dalam diri saya saat sendirian di balkon.

Saya berbicara perihal penerimaan diri. Saya belajar untuk memahami diri saya sendiri. Mengurangi aktivitas justifikasi terhadap orang lain dan diri sendiri. Saya berusaha mengajak bicara diri saya sendiri. Perenungan diri berbeda halnya dengan melamun. Perlu saya tekankan di sini.

Hal-hal yang saya dapat dari aktivitas rutinan tersebut, saya semakin bisa mengolah pikiran saya. Tak semua hal perlu digapai saat ini. Langkah demi langkah, selagi ada niat dan terus eksplorasi diri, pasti juga akan sampai pada titik yang kita inginkan. Saya mencoba membenahi pola pikir saya terkait kerisauan saya.

Untung saja, keadaan balkon ketika sore hari hingga menjelang petang cukup sepi. Jadi bisa saya gunakan untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang sifatnya personal. Pula, tak jarang juga saya menjumpai keadaan balkon pada pagi hari sepi dan sunyi. Bagaimana pun situasinya, saya sangat senang bertemu balkon di indekos. Semacam ada sebuah cerita yang bisa dimaknai lebih dalam ketika kita di sekitarnya.

--

--

Pamungkas Adiputra
Pamungkas Adiputra

Written by Pamungkas Adiputra

Personal perspective. Currently at the stage of being able to learn to interpret the true meaning of life.

No responses yet